Laut
Selatan terkenal dengan keganasan ombaknya. Konon, tidak hanya lautnya saja
yang ganas, tetapi juga para penghuninya.
Siapakah para penghuni Laut Selatan
itu?
Mereka adalah para makhluk halus, para
jin dan para siluman. Konon, para makhluk halus ini diperintah oleh seorang
ratu yang luar biasa kesaktian dan kecantikannya. Mereka menyebut penguasa Laut
Selatan ini “Nyai Roro Kidul” atau “Ratu Laut Selatan”. Siapakah sebenarnya
Ratu Laut Selatan itu? Inilah cerita selengkapnya.
Diceritakan dalam Babad Tanah Jawa,
pada zaman dahulu di tanah Jawa pernah berdiri sebuah kerajaan besar. Kerajaan
itu bernama Kerajaan Padjajaran. Pada
waktu itu, yang memerintah Kerajaan Padjajaran adalah Prabu Banjaransari. Sang Prabu mempunyai beberapa orang putra. Salah
satu putra Prabu Banjaransari yang terkenal adalah Raden Mundingwangi dan putrinya yaitu Dewi Angin-angin.
Semestinya, Sang Prabu pantas
berbahagia karena mempunyai putra yang gagah dan tampan, serta seorang putrid yang
cantik jelita. Namun, dalam kenyataan, Prabu Banjaransari justru sangat
bersedih. Raja Padjajaran itu sedih memikirkan Dewi Angin-angin, putrid yang
sangat dibanggakan dan dikasihinya.
“Kenapa Kanda Prabu selalu tampak murung
belakangan ini?” Tanya permaisuri dengan lembut.
“Benar, Dinda. Aku memikirkan putrimu.”
“Kenapa dengan Dewi Angin-angin, putrid
kita, Kanda?” Tanya permaisuri cemas.
“Ah, tidak apa-apa, Dinda. Hanya saja,
kenapa dia tidak mau segera menikah?”
“Oh, itu rupanya yang membuat Kanda
Prabu resah. Mungkin karena belum ada seorang raja atau pangeran yang cocok di
hatinya, Kanda,” jawab permaisuri berusaha menenangkan suaminya.
“Dinda benar. Namun masalahnya tidak
semudah itu” lanjut Raja Padjajaran lagi.
Prabu Banjaransari kemudian
menjelaskan kepada permaisurinya bahwa Kerajaan Padjajaran di ambang kehancuran
bila putrinya tidak segera menikah. Para raja muda dan para pangeran itu tentu
akan sangat tersinggung bila Dewi Angin-angin menganggap remeh pinangan mereka.
Oleh karena itu, Raja Padjajaran itu meminta permaisurinya untuk membujuk putri
mereka.
“Anakku, janganlah engkau selalu
mengeraskan hatimu. Pikirkan juga nasib rakyat Padjajaran. Berbahaya sekali jika
sampai mereka mengamuk di sini,” kata permaisuri dengan lembut.
Namun, Dewi Angin-angin tak dapat
berkata apa-apa. Dia tidak tahu bagaimana mengatakannya. Dia sama sekali tidak
ingin menjadi rebutan para pangeran dan para raja muda.
Melihat putrinya diam seribu bahasa,
Prabu Banjaransari merasa diremehkan. Oleh karena itu, bangkitlah kemarahannya.
“Baiklah, engkau sama sekali tidak
memandangku. Aku pun tak menganggapmu lagi. Hari ini juga engkau harus
tinggalkan Padjajaran!” hardik Raja Padjajaran itu tak dapat menahan
kemarahannya lagi.
Permaisuri dan Dewi Angin-angin sangat
kaget mendengar keputusan Prabu Banjaransari, tetapi mereka tak mungkin bisa
menolak keputusan raja. Mulai hari itu juga,
Dewi Angin-angin pergi meninggalkan Padjajaran. Sang permaisuri
mengiringi kepergian putrinya dengan bercucuran air mata.
“Semoga Dewata Agung selalu
melindungimu, anakku,” doa permaisuri dengan hati pilu.
Sementara itu, Dewi Angin-angin yang
tidak mempunyai arah tujuan pasti terus berjalan berhari-hari lamanya menuruti
kata hati. Ketika langkahnya sampai di Gunung
Kumbang, Putri Padjajaran itu mendapatkan petunjuk gaib agar bertapa di
gunung yang angker itu. Tanpa mengenal takut, putrid jelita itu segera mendaki
Gunung Kumbang untuk memenuhi petunjuk gaib itu.
Di puncak gunung angker yang banyak
dihuni makhluk halus (bangsa jin) itu, Putri Padjajaran dengan khusyuk memohon
kepada para dewa. Satu hal yang diminta oleh putrid Prabu Banjaransari itu
adalah agar dia bisa hidup abadi di dunia dan terhindar dari kematian dan tetap
cantik jelita.
Dewi Angin-angin terus bertapa tak
kenal waktu. Dia sama sekali tidak peduli lagi dengan keadaan alam sekitarnya.
Putri Padjajaran itu benar-benar mempertaruhkan semua yang ada agar
keinginannya menjadi nyata.
Akhirnya, semua yang diidam-idamkan
Putri Prabu Banjaransari itu menjadi kenyataan. Dia benar-benar terhindar dari
kematian dan bisa hidup abadi di dunia dari generasi ke generasi.
Tidak hanya itu. Di samping wajahnya
tetap cantik jelita, dia juga mendapatkan kesaktian yang tiada tara.
Namun, sungguh sayang. Semua kebahagiaannya
itu harus ditebus dengan pengorbanan yang besar. Dewi Angin-angin kini bukan
lagi seorang manusia, tetapi sudah menjadi bangsa jin.
Bukan hanya itu. Dewi Angin-angin juga
harus kehilangan nyawa orang-orang yang dicintainya. Prabu Banjaransari dan
permaisuri yang selalu mengharapkannya kembali, akhirnya tidak tahan dan
meninggal dalam kesedihan. Adiknya, Raden Mundingwangi yang kemudian menjadi
Raja, tak beberapa lama kemudian juga meninggal.
Dewi angin-angin bertambah sedih
ketika mengetahui pengganti Raden Mundingwangi, yaitu Raden Mundingsari akhirnya juga terbunuh. Lebih tragis lagi,
pembunuh Raden Mundingsari adalah putranya sendiri, yaitu Raden Ciung Wanara. Dewi Angin-angin akhirnya tidak kuat menahan
kesedihan. Dia kemudian meninggalkan Gunung Kumbang dan pergi ke Laut Selatan.
Di Laut Selatan itu, Putri Padjajaran
itu kemudian melampiaskan semua kekecewaan hatinya. Semua makhluk halus (bangsa
jin) yang tinggal di Samudera luas tak bertepi itu ditaklukkannya. Setelah itu,
Dewi Angin-angin dengan penuh keagungan segera menobatkan dirinya sebagai Raja
atau Penguasa di Laut Selatan. Di kemudian hari, orang-orang menyebutnya
sebagai Nyai Roro Kidul atau Ratu Laut Selatan.
Kesimpulan :
Cerita ini, termasuk mite karena berkisah tentang dunia para
makhluk halus (bangsa jin).
Cerita ini member pelajaran kepada
kita bahwa takdir atau kodrat Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dilawan oleh
manusia. Apalagi hal itu berkenaan denga umur manusia. Kita sudah sepantasnya
bersyukur diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai manusia dengan segala
kelebihan dan kekurangannya.
Sumber
:
Cerita Rakyat Dari Laut Selatan